Translation Indonesia-French: Le colonialisme sur le vert terrain dans le simulacre sur le football par Zen RS (l’Essai).

[Indonesia] Rencana-rencana pertandingan juga disebutkan dalam surat tertanggal 14 September 1933 tersebut, yaitu pertandingan-pertandingan yang diselenggarakan di kota-kota:

Batavia (Jakarta)-Surabaya.

Bandung-Semarang.

Buitenzorg (Bogor)-Sukabumi.

Garut-Tegal.

Djokja (Yogyakarta)-Madioen (Madiun).

Blitar-Malang.

Dan ternyata, dari jumlah 20,000 gulden maksimal yang direncanakan, tercatat jumlahnya naik menjadi 30,000 gulden! Jumlah in yang nantinya digunakan untuk tujuan amal dan penanganan masalah pengangguran di Hindia Belanda.

Pencanangan Hari Sepakbola di Hindia Belanda ini sampai saat artikel ini ditulis memang belum berhasil saya temukan tanggal pastinya. Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu, Cornelis de Jonge, yang terkenal anti-pergerakan kaum bumiputera, mengusulkan 31 Agustus sebagai Hari Sepakbola di Hindia Belanda. Hal ini kemungkinan berdasarkan tanggal hari lahir dari ratu Wilhelmina (Ratu Belanda dari tahun 1890-1948).

Gubernur Jenderal de Jonge sendiri menyambut antusias ide ini. Gabi de Jonge, sebagaimana terpapar dalam sambutan resminya, sepakbola pada dasarnya adalah kerja sama tim. “Dan jika permainan ini dapat diselenggarakan pada satu satu hari khusus, contohnya tanggal 31 Agustus, maka hal ini akan tercermin juga dalam hal kerja sama di tingkat kehidupan nasional,” ucap de Jonge.

[French] Les plans de match étaient également mentionnés dans la lettre du 14 septembre 1933, qui portait sur les matches organisés dans les villes:

Batavia (Jakarta)-Surabaya.

Bandung-Semarang.

Buitenzorg (Bogor)-Sukabumi.

Garut-Tegal.

Djokja (Yogyakarta)-Madioen (Madiun).

Blitar-Malang.

Et en fait, sur le maximum prévu de 20 000 florins, le nombre est passé à 30 000 florins! Ce montant a ensuite été utilisé à des fins caritatives et pour résoudre le problème du chômage dans les Indes néerlandaises.

La déclaration de la Journée du football dans les Indes néerlandaises jusqu’au moment où cet article a été écrit n’a en effet pas pu trouver la date exacte. Le gouverneur général des Indes orientales néerlandaises à l’époque, Cornelis de Jonge, célèbre pour son anti-mouvement «des bumiputera», proposa le 31 août comme Journée du football aux Indes néerlandaises. Cela était probablement basé sur la date de naissance de la reine Wilhelmine (reine des Pays-Bas de 1890 à 1948).

Le gouverneur général de Jonge lui-même a accueilli avec enthousiasme cette idée. Gouverneur de Jonge, comme il l’a exprimé dans ses remarques officielles, le football était essentiellement un travail d’équipe. «Et si ce match peut avoir lieu un jour spécial, par exemple le 31 août, cela se reflétera également en termes de coopération au niveau de la vie nationale», a déclaré de Jonge.

Titre du livre: le simulacre sur le football. Éditeur: Indie Book Corner (Yogyakarta, Indonésie). Auteur: Zen RS est un écrivain et journaliste indonésien. Contact: Twitter.

Bayi Terlantar (Cerita Anak) – Leo Tolstoy.

the-profound-thuth-of-faith01.jpg

Seorang perempuan malang memiliki anak bernama Masha. Masha pergi untuk mengambil air di pagi hari, dan melihat sesuatu yang terbungkus kain di pintu. Ketika dia menyentuh kain, di sana muncullah suara, “Ooah, ooah, ooah!” Masha membungkuk dan melihat bahwa itu bayi berkulit merah dan kecil sekali. Bayi itu berteriak keras: “Ooah, ooah!”

Masha mengambil bayi itu ke kedua tangannya dan membawanya ke rumah, dan memberinya susu dengan sendok. Ibunya berkata:

Apa yang kau bawa?”

Bayi. Aku menemukannya di pintu kita.”

Ibunya berkata:

Kita itu miskin; kita tak punya apa-apa untuk memberi makan bayi ini; aku akan pergi ke ketua dan mengatakan padanya untuk membawa bayi ini.”

Masha mulai menangis dan berkata:

Ibu, bayi ini tak makan banyak, biarkanlah di sini! Lihatlah alangkah merahnya dia, tangan-tangan dan jari-jari kecil keriput yang dimilikinya!”

Ibunya memandang tangan-tangan dan jari-jari kecil keriputnya, dan dia kasihan padanya. Dia tak jadi membawa bayi itu pergi. Masha memberi makan dan membalutnya, dan menyanyikan lagu, kemudian bayi itu tertidur.

: Dialih-bahasakan dari teks Rusia-Inggris dari Stories For Children: The Foundling (1869-1872) oleh Leo Tolstoy; tr. Leo Wiener.

***

Un Bébé (L’Histoire Pour Les Enfants) – Leo Tolstoy.

Une pauvre femme avait une fille du nom de Másha. Du matin, elle est allée chercher de l’eau et a vu quelque chose enveloppé dans les chiffons à la porte. Quand elle a touché les chiffons, on est venu de là le son: «Ooah, ooah, ooah!» Másha s’est penchée et l’a vu qui était un bébé de la peau rouge. Il pleurait à haute voix: «Ooah, ooah!»

Másha lui a pris dans ses bras et lui a emmené dans la maison, et lui a donné du lait avec la cuillère. Sa mère a dit:

“Qu’as-tu apporté ?”

Un bébé. je lui ai trouvé à notre porte.”

Sa mère a dit:

Nous sommes pauvres comme ça. Nous n’avons rien pour nourrir le bébé. Je vais aller au chef et lui dis pour prendre le bébé.”

Elle a commencé à pleurer et a dit:

“Maman, le bébé ne mangera pas beaucoup; Laissez-le ici! Voyez quel rouge! Il a les petites mains et les doigts ridés!”

Sa mère les a regardés, et elle a senti la pitié pour le bébé. Elle ne lui a pas fait emmener au loin. Másha a nourri et a enveloppé le bébé, et a chanté des chansons pour lui, alors il est allé dormir.

:Traduit du texte russe-anglais de Stories For Children: The Foundling (1869-1872) de Leo Tolstoy; Tr. Leo Wiener.

***

Ein Baby (Kurzgeschichte für Kinder) – Leo Tolstoy.

Eine arme Frau hatte eine Tochter durch den Namen von Másha. am Morgen, sie ging, um Wasser zu holen, und sie sah an der Tür etwas in Lumpen gewickelt. Als sie die Lappen berührte, dort kam da raus der Ton: ,,Ooah, ooah, ooah!” Másha bückte sich und sie sah es, das war ein winziges, rot-häutiges Baby. Er weinte laut: ,,Ooah, ooah!”

Másha nahm es in ihre Arme und sie trug in das Haus, und sie hat es Milch gegeben mit einem löffel. Ihre Mutter sagte:

,,Was hast du gebracht?”

,,Ein Baby. Ich fand ihn an unserer tür.”

Ihre Mutter sagte:

,,Wir sind arm und Wir haben nichts zu das baby füttern. Ich werde zum Häuptling gehen und sag ihm, er solle das Baby nehmen.”

Másha begann zu weinen und sagte:

,,Mutter, das Baby wird nicht viel essen, lass ihn hier! Sieh welch rot! Er hat kleine Hände und Finger zerknittert!”

Ihre Mutter sah auf kleine Hände und Finger zerknittert, und sie fühlte Mitleid für das Baby. Másha hat das Baby nicht weggenommen. Sie gefüttert und gewickelt für das Baby, und sie sang Lieder dazu, dann ging er schlafen.

: Übersetzt aus russisch-englisch von Stories For Children: The Foundling (1869-1872) von Leo Tolstoy; Tr. Leo Wiener

[] Picture from here.

Have Fun With Your Friends (HFWYF)

Have Fun With Your Friends (HFWYF) adalah salah satu gerakan di Kota Malang, Jawa Timur, Indonesia, yang berelasi pada musik, khususnya musik hardcore. Gambar ini adalah bentuk perhatian HFWYF terhadap sesama; hasil keuntungan dari merchandise mereka disumbangkan kepada kawan kecil mereka, Muhammad Ghofi di Tumpang, Malang, Jawa Timur, Indonesia.

Have Fun With Your Friends (HFWYF) is one of movements in Malang, East Java, Indonesia, Southeast-Asia, that relates to music, especially hardcore music. This image is a concern from HFWYF for others; the result from their merchandise profit have donated to their little friend, Muhammad Ghofi in Tumpang, Malang, East-Java, Indonesia.

Have Fun With Your Friends (HFWYF) est un de mouvements à Malang, Est-Java, Indonésie, Asie du Sud-Est, qui concerne avec la musique, en particulier la musique hardcore. Cette image est une préoccupation de HFWYF pour les autres; le résultat de leur bénéfice de marchandise a fait don pour leur petit ami, Muhammad Ghofi, à Tumpang, Malang, Est-Java, Indonésie, Asie du Sud-Est.

Have Fun With Your Friends (HFWYF) ist eine Bewegung in Malang, Ost-Java, Indonesien, Südost-Asien, was sich auf Musik, besonders Hardcore-Musik bezieht. Dieses Bild ist ein Anliegen von HFWYF für andere; das Ergebnis von ihrer Ware profitieren haben zu ihr kleiner freund gespendet, Muhammad Ghofi in Tumpang, Malang, Ost-Java, Indonesien, Südost-Asien.

#havefunwithyourfriends #hardcoreismorethanmusic

For detail info and contact HFWYF: Aston or HFWYF.

Batu, Buku, dan Seorang Geolog: Silogisme Cinta.

dsc_0035

Tepat pukul tiga sore, aku menuju ke desa pesanggrahan, di kota administratif Batu. Desa itu adalah desa terakhir untuk menuju ke gunung panderman, tempat di mana pertama kali aku belajar untuk melangkahkan kaki di bebatuan di dataran tinggi, menghanyutkan diri dalam terpaan semilir angin yang menggersakkan pohon-pohon pinus sehingga suara alam itu memunculkan kemistikannya sendiri dalam perhitungan digit, 2.045 mdpl.

Tentu tak baik, jika menyamaratakan tingkat kesukaran semua gunung. Seorang kawan pernah berujar bahwa, entah gunung dengan ketinggian di bawah 2000 mdpl atau lebih dari 2000 mdpl punya keunikannya masing-masing. Bagiku, gunung panderman, punya tingkat kesukaran pada elevasi kemiringan track (jalur) yang curam dan kelokan yang tajam dengan batu-batu dari prosesi alam gunung api kwarter muda—jika dugaanku tepat. Dan aku merindukan masa ketika menggambar peta topografi, dalam studi ilmu ukur tanah beberapa tahun lalu, yang bermain-main dengan garis lengkung—garis kontur curam dan garis kontur landai—alat theodolit, skala peta, dan interpolasi kontur, yang berarti suatu metode untuk mendapatkan nilai kontur yang diharapkan pada satu titik ke titik yang lain, yang memiliki diferensiasi ketinggian.

Ada yang menarik ketika aku tak hanya memaknai sudut pandang panorama, dan namun juga pada sudut pandang yang lebih detail, bebatuan dengan warna kecokelatan itu, yang mengingatkanku pada satu sosok, seorang geolog dan vulkanolog, Reinout Willem van Bemmelen, profesor dari Universitas Utrecth dan penulis dari ‘The Geology of Indonesia.’ Seperti halnya kesetiaan batu pada gunung begitu pun dengan kisah Reinout dan sang istri, Lucie, kekasih yang kemudian menjadi istrinya. Yang mana dengan kesetiaan serta kesabaran dari Lucie untuk menemani serta menjadi spirit bagi Reinout untuk mengerjakan naskah bukunya yang tebal selama tiga tahun. Seperti Mohammad Hatta yang memberikan ‘Alam Pikiran Yunani’ pada Rahmi Hatta, pun dengan Reinout, yang mendedikasikan antara alam dan buku ‘The Geology of Indonesia’ pada sang istri.

Ketika di gunung panderman inilah, hirupan udara segar yang menghubungkan pada ketenangan yang ganjil namun mesra. Sepulangnya dari gunung panderman, lekaslah mulai tersadar satu petikan, satu prinsip yang sering didengungkan para geolog:

“The present is the key to the past.”

31 Desember ’16, Latar Ombo (1600 mdpl), Gunung Panderman, Kota Batu.

***

À quinze heures, je suis allé vers le village Pesanggrahan, dans la ville administrative Batu. Le village était le dernier village pour aller vers à la montagne Panderman, l’endroit où le premier fois, j’apprenais à mettre les pieds, sur les pierres, sur le plateau. Et je tombais à l’assaut du vent que crépitement les pins si bien que ces sons du naturels apportais son mystique dans calcul du nombre: 2.045 Mdpl.

Certainement pas bon si nous égalons le niveau de difficulté de toutes les montagnes. Un ami a dit une fois: «la montagne avec des altitudes au-dessous 2000 Mdpl ou plus que 2000 Mdpl ont l’unicité de chacun.» Pour moi, la montagne Panderman avait un niveau de difficulté à la pente d’élévation de la piste escarpée et la virage brusque avec les pierres de procession naturelle du «gunung api kwarter muda»—si ma conjecture était vrai. Et je manque l’époque où j’ai dessiné une carte topographique, dans l’étude du géométrie de sol il y a quelques années, que joue avec la lignes courbes—la lignes de contour abruptes et la lignes de contour rampes—Le theodolit, la carte d’échelle, et l’interpolation du contour, ce qui signifie une méthode pour obtenir les valeurs de contour, ceux qui sont attendus à un point à un autre point, qui avaient une différenciation de hauteur.

Il était intéressant, je ne faisait pas juste sens à la vue panoramique, mais aussi dans une perspective plus détaillée, ces pierres de couleur brunâtre, Cela me rappelle à quelqu’un, Le géologue et le volcanologue, Reinout Willem van Bemmelen, le professeur de l’Université d’Utrecht et l’auteur de «The Geology of Indonesia». Tels que les pierres à la montagne, ainsi que l’histoire de Reinout et sa femme, Lucie. Ce qui fidèle et patient pour accompagner le travail de Reinout épaisseur pendant trois ans. Comme Mohammad Hatta qui donnent « Alam Pikiran Yunani» à Rahmi Hatta, ainsi que Reinout qui donnent «The Geology of Indonesia» pour sa femme.

Quand sur ce montagne Panderman, respiration d’air frais que se connectant sur un calme étrange, mais tendrement. Après le retour de la montagne Panderman, je me suis souvenu d’une citation appelée par les géologues:

« Le présent est la clé du passé.»

31 Decembre 2016, Latar Ombo (1600 mdpl), La montagne du Panderman, La ville du Batu.

François Hardy et Sa Chanson

 

François Hardy adalah penyanyi wanita idola di Prancis buatku. Aku menyukai salah satu lagunya: Même Sous La Pluie. Bagiku, lagu ini tentang suatu penantian, kesetiaan, dan kepasrahan. Aku sering mendengarkan lagu ini di mana saja dan aku suka kata-kata ini:

seperti seekor burung di dalam angin / pada sekembalinya musim semi, cintaku / aku menantimu, cintaku, aku menantimu // namun aku bisa melupakanmu, cintaku / jika aku menantimu kembali terlalu lama

 ***

François Hardy est une idole chanteuse de France pour moi. J’aime l’une des ses chansons: Même Sous La Pluie. D’après moi, ce chanson au sujet de la loyautè, l’attente, et l’abandon. J’etends souvent ce chanson partout et j’aime dans ces paroles:

Comme un oiseau dans le vent / Au retour du printemps, mon amour / Je t’attends, mon amour, Je t’attends // Mais je pourrais t’oublier, mon amour / Si trop longtemps, j’attendais ton retour

Deux Oiseaux

cropped-bif-tam-image-11.jpg

Ada dua burung sedang terbang di bawah langit, sangat tinggi. Tiga puluh menit kemudian, mereka kelelahan dan turun. Lalu, mereka menuju ke sebuah pohon. Mereka selalu bersama dan saling menyayangi.

Il y a deux oiseaux sont s’envoler sous le ciel, très grand. Trente minutes plus tard, ils son aller vers un arbre. Ils sont toujours ensemble et s’aimer.