One Family One Brotherhood 9 (28 April 2018)*
When children start to speak they find their own voice by imitating the sounds around them. It would follow that bands do the same. Bands will find their own voice at some point – Ian MacKaye.
Yogya dan keragaman, apa lagi selain itu? Bayangkan, kemarin malam (28 April 2018), ada dua tempat yang menghelat acara musik dan hanya dipisahkan, mungkin, sekitar dua rumah makan. Tempat pertama ada di Delapan Koffie (Koffie, Social and Culture Space) dengan acara Ruang Gulma-nya dan tempat kedua ada di Jamming Jogja (JJ cafe & Bar) dengan acara One Family One Brotherhood 9-nya, di sekitaran Nologaten. Pada akhirnya, saya menjatuhkan pilihan pada tempat kedua.
Setibanya di JJ cafe & Bar dan seusai sedikit bercengkrama dengan satu-dua kawan, saya memutuskan masuk, membeli tiket, seorang penjaga mengunting dan memberikan warna kuning di jari kelingking dengan pilox, dan saya masuk ke keragaman dunia dalam, dunia One Family One Brotherhood, yang pernah dituturkan pada saya sekitar tujuh tahun lalu, di kota kecil, di bagian timur Pulau Jawa.
Empat belas tiang peyangga menopang langit-langit venue itu, lighting berwarna merah dan biru bermunculan di depan mata. Panggung kecil dengan di atasnya telah tersusun alat-alat musik, dan kemudian master ceremony, menyambut dengan hangat : selamat datang di One Family One Brotherhood.
Kedua mata dibalik kacamata menangkap warna-warna lain yang telah lama tak saya rasakan seperti melihat perempuan berjaket spike berdiri sementara di sisi lain berdiri pula seorang wanita berkerudung, seseorang dengan kaos yang menawarkan font warna merah atas kutipan Rev. Paul Bearer yang melewati seseorang yang mengenakan kaos 7 second, sepatu boot yang melangkah di antara sepatu converse atau sepatu vans, bahkan pemuda dengan kaos XXX straight edge crew yang tak jauh dari si topi merah yang sedang menyembulkan asap rokok. Dengan memundurkan tubuh di dinding, di sisi kiri panggung, di antara pigura foto Fidel Castro dan pigura seseorang yang berada di balik penjara dengan tulisan ‘penjara bukan solusi,’ saya menyaksikan pandangan keragaman itu.
Selang beberapa menit, para personil band Throwback mulai memberikan sajian mereka dengan empat atau lima lagu dengan sound-sound seperti Downset atau Strife; Waktu menjalar, NeverKnockOut dengan warna beatdown mengingatkan saya pada band Terror; dan serupa dengan warna musik dari band selanjutnya, Balas Dendam.
Tiga band usai, tiga band mencoba menawarkan keragaman yang lain. Killed On Juarez, band yang telah menelurkan album bertajuk ‘Gemini’ itu, membawa kejutan lain, manakala vokalis mereka Fransisca Ayu memberikan satu tempat kepada Ipe (Nothing) yang, jika saya tepat mendengar, datang ke Yogyakarta dari Tangerang, tak hanya itu, KOJ memberikan kejutan selanjutnya dengan cover Nirvana melalui kemasan musik mereka, mengingatkan saya pada Cranial Incisored yang mengemas Friday I’m in Love dari The Cure, wow, saya benar-benar terkejut. Seusai KOJ, berganti Baku Hantam, seorang audience dengan kaos pigpag.rvg melakukan pogo di area mosh pit disertai crowd audience yang mengangkat tubuh audience lain setara dengan tangan yang menjulang dengan kamera untuk membidik momen, dan sing along, hardcore pride, hardcore pride, hardcore pride, menjadi pemanisnya. Kemudian berlanjut dengan Reason To Die, satu band dengan sound-sound Throwdown dan Earth Crisis, membuat jumping-jumping kecil, slam-slam kecil, di area mosh pit, kejutan lain hadir manakala mereka menyilakan salah satu personil Strenght to Strenght, untuk menikmati keragaman pada malam itu.
Band 90-an, yang telah saya dengar tujuh tahun lalu, benar-benar hadir di depan mata. Mimpi? Keajaiban? Noise For Violence dengan sound Bad Brain, hardcore punk US, sepengetahuan saya, meriuhkan circle pit; Kemudian, Nothing dengan cover Walls Of Jericho, jika saya tepat mendengar. Hands Upon Salvation, dengan technically-hardcore, suatu pengertian yang pernah saya baca di progarchives[dot]com, melalui efek-efek gitar mereka. Dan puncak acara, Something Wrong memberi keragaman lain dengan lirikalitas bahasa Jawa serta feat. Sabotage—dan dua band itu, satu angkatan dengan Diphterium Hate, seperti yang ditulis oleh Denny Sakrie, 100 Tahun Musik Indonesia.
Toh, pada akhirnya, One Family One Brotherhood 9, yang dihelat selama dua hari, 27-28 April 2018, memberikan pemaknaan ulang tentang keragaman yang berbentuk, jabat erat (dan pelukan) kawan lama di tengah-tengah tawa-tawa kecil kawan-kawan baru. This is Yogyakarta, this is One Family One Brotherhood.
*Iqbal, penyuka roti bakar jalan kaliurang.