One Family One Brotherhood 9 (28 April 2018)*

When children start to speak they find their own voice by imitating the sounds around them. It would follow that bands do the same. Bands will find their own voice at some point – Ian MacKaye.

Yogya dan keragaman, apa lagi selain itu? Bayangkan, kemarin malam (28 April 2018), ada dua tempat yang menghelat acara musik dan hanya dipisahkan, mungkin, sekitar dua rumah makan. Tempat pertama ada di Delapan Koffie (Koffie, Social and Culture Space) dengan acara Ruang Gulma-nya dan tempat kedua ada di Jamming Jogja (JJ cafe & Bar) dengan acara One Family One Brotherhood 9-nya, di sekitaran Nologaten. Pada akhirnya, saya menjatuhkan pilihan pada tempat kedua.

Setibanya di JJ cafe & Bar dan seusai sedikit bercengkrama dengan satu-dua kawan, saya memutuskan masuk, membeli tiket, seorang penjaga mengunting dan memberikan warna kuning di jari kelingking dengan pilox, dan saya masuk ke keragaman dunia dalam, dunia One Family One Brotherhood, yang pernah dituturkan pada saya sekitar tujuh tahun lalu, di kota kecil, di bagian timur Pulau Jawa.

Empat belas tiang peyangga menopang langit-langit venue itu, lighting berwarna merah dan biru bermunculan di depan mata. Panggung kecil dengan di atasnya telah tersusun alat-alat musik, dan kemudian master ceremony, menyambut dengan hangat : selamat datang di One Family One Brotherhood.

Kedua mata dibalik kacamata menangkap warna-warna lain yang telah lama tak saya rasakan seperti melihat perempuan berjaket spike berdiri sementara di sisi lain berdiri pula seorang wanita berkerudung, seseorang dengan kaos yang menawarkan font warna merah atas kutipan Rev. Paul Bearer yang melewati seseorang yang mengenakan kaos 7 second, sepatu boot yang melangkah di antara sepatu converse atau sepatu vans, bahkan pemuda dengan kaos XXX straight edge crew yang tak jauh dari si topi merah yang sedang menyembulkan asap rokok. Dengan memundurkan tubuh di dinding, di sisi kiri panggung, di antara pigura foto Fidel Castro dan pigura seseorang yang berada di balik penjara dengan tulisan ‘penjara bukan solusi,’ saya menyaksikan pandangan keragaman itu.

Selang beberapa menit, para personil band Throwback mulai memberikan sajian mereka dengan empat atau lima lagu dengan sound-sound seperti Downset atau Strife; Waktu menjalar, NeverKnockOut dengan warna beatdown mengingatkan saya pada band Terror; dan serupa dengan warna musik dari band selanjutnya, Balas Dendam.

Tiga band usai, tiga band mencoba menawarkan keragaman yang lain. Killed On Juarez, band yang telah menelurkan album bertajuk ‘Gemini’ itu, membawa kejutan lain, manakala vokalis mereka Fransisca Ayu memberikan satu tempat kepada Ipe (Nothing) yang, jika saya tepat mendengar, datang ke Yogyakarta dari Tangerang, tak hanya itu, KOJ memberikan kejutan selanjutnya dengan cover Nirvana melalui kemasan musik mereka, mengingatkan saya pada Cranial Incisored yang mengemas Friday I’m in Love dari The Cure, wow, saya benar-benar terkejut. Seusai KOJ, berganti Baku Hantam, seorang audience dengan kaos pigpag.rvg melakukan pogo di area mosh pit disertai crowd audience yang mengangkat tubuh audience lain setara dengan tangan yang menjulang dengan kamera untuk membidik momen, dan sing along, hardcore pride, hardcore pride, hardcore pride, menjadi pemanisnya. Kemudian berlanjut dengan Reason To Die, satu band dengan sound-sound Throwdown dan Earth Crisis, membuat jumping-jumping kecil, slam-slam kecil, di area mosh pit, kejutan lain hadir manakala mereka menyilakan salah satu personil Strenght to Strenght, untuk menikmati keragaman pada malam itu.

Band 90-an, yang telah saya dengar tujuh tahun lalu, benar-benar hadir di depan mata. Mimpi? Keajaiban? Noise For Violence dengan sound Bad Brain, hardcore punk US, sepengetahuan saya, meriuhkan circle pit; Kemudian, Nothing dengan cover Walls Of Jericho, jika saya tepat mendengar. Hands Upon Salvation, dengan technically-hardcore, suatu pengertian yang pernah saya baca di progarchives[dot]com, melalui efek-efek gitar mereka. Dan puncak acara, Something Wrong memberi keragaman lain dengan lirikalitas bahasa Jawa serta feat. Sabotage—dan dua band itu, satu angkatan dengan Diphterium Hate, seperti yang ditulis oleh Denny Sakrie, 100 Tahun Musik Indonesia.

Toh, pada akhirnya, One Family One Brotherhood 9, yang dihelat selama dua hari, 27-28 April 2018, memberikan pemaknaan ulang tentang keragaman yang berbentuk, jabat erat (dan pelukan) kawan lama di tengah-tengah tawa-tawa kecil kawan-kawan baru. This is Yogyakarta, this is One Family One Brotherhood.

*Iqbal, penyuka roti bakar jalan kaliurang.

Tiga Pertemuan : Pianis. Penulis.

hand

Di kota itu, kota yang memang subur untuk memunculkan bibit-bibit muda potensial dari beragam bidang, satu falsafah mengedar, witing tresno jalaran soko kulino, artinya cinta tumbuh karena terbiasa. Cinta yang tumbuh itu juga bisa menjangkiti siapa saja, tak muda dan tak tua, di mana saja dan kapan saja, bahkan menyentuh pada seorang pianis muda perempuan dan seorang penulis muda laki-laki.

Hanya tiga pertemuan, seperti interval terts dari nada 1 – 3, untuk menumbuhkan cinta. Pertama, hanya sebatas menaruh hormat, pada suatu acara kebudayaan. Kedua, rasa suka memunculkan dirinya, di satu forum tentang musik. Ketiga, cinta benar-benar hadir melingkungi keduanya pada satu peluncuran buku dari kawan si pianis dan juga kawan si penulis.

Pada akhirnya, ketika di acara peluncuran buku itu pula, si pianis dilingkari oleh tiga kumbang, dan si penulis merasakan sesuatu yang aneh dalam dirinya, suatu penolakan yang tak mampu ditolak, jika memang cinta, seharusnya ia mampu menerima apa pun risiko yang telah terjalin. Bukan, ini bukan cinta, kata si penulis lebih dalam. Ia pun tersadar, bahwa jauh sebelum bertemu si pianis, si penulis telah menjatuhkan hati pada bunga lain, di kota lain. Kesetiaan, pada akhirnya, memenangkan segalanya, si penulis mengingat kembali puisi dalam bahasa Jerman :

Was ist älter als alles? Es ist die Liebe! / Was überlebt alles? Es ist die Liebe! Was ändert sich niemals, wenn alles sich ändert? Es ist die Liebe! (1)

[Apakah yang lebih tua dari segalanya? Itulah cinta / Apa yang bertahan dari segalanya? Itulah cinta! / Apa yang tak akan pernah berubah, jika segalanya berubah? Itulah cinta!]

Si penulis mengetuk palu kesimpulan bahwa jika ia hanya menaruh hormat pada si pianis dalam batas kreativitas, dalam semangat berkarya, tak jauh dari itu. Dan cinta abadi, hanya untuk satu bunga, di sana.

Bahasa (Pikiran/Hati) dan Telepati.

Screenshot from 2018-04-24 21:12:58

Kasus 1.

Kekasihnya yang sedang menempuh studi di luar negeri, telah tiga hari tak menghubunginya. Kecemasan mengganggu perempuan itu. Tiga hari itu pun dilalui dengan memikirkan wajahnya, bentuk tubuhnya, atau bahkan matanya. Pada hari keempat, seorang kolega dari kekasihnya mengirimkan pesan bahwa kekasihnya sedang sakit. Dan perempuan itu, melalui kekuatan bahasa dalam pikirannya, mengirimkan sinyal-sinyal doa. “Aku percaya kamu mampumelewati semua ini. Ya Tuhan bantulah dia. Amin.” Karena ketulusannya, Yang-Maha-Mempesona memberikan kasihnya. Pada hari kelima, kekasihnya menghubungi, dan bahwa ia baru saja mengalami sakit dan telah baik-baik saja.

Kasus 2.

Keluarga muda itu mengalami pengalaman yang sulit. Si istri yang sedang hamil tua kemudian disuruh untuk kembali ke rumah orang tuanya di Surabaya, sebab ikut si suami yang sedang bekerja di Bandung. Jadwal padat si suami, membuat si istri merasakan kesendirian di kota yang belum lama didiami, belum lama dikenal. Si istri telah kembali ke surabaya, sedangkan si suami melanjutkan kerja kerasnya di Bandung. Pada suatu hari, si suami merasakan kegelisahan, intinya tak seperti hari biasanya. “Cepatlah kembali, cepatlah kembali, sayang, aku merindukanmu,” kata si istri yang meringkuk di bawah selimut tebal dan tak enak badan. Kemudian, ia ingin memastikan kondisi istrinya, dan menghubungi melalui ‘tele-phoné.’ “Iya, aku lagi nggak enak badan. Kamu cepat pulang.” Dan suara si suami menenangkan si istri, dan dari ketenangan itulah kondisinya sedikit demi sedikit membaik.

Riset dan Ketekunan.

Yang lekat dengan dunia riset (penelitian), khususnya untuk para peneliti Prancis seperti, untuk menyebut beberapa nama para peneliti, Henri Chambert-Loir, Denys Lombard, Farida Soemargono, Marcel Bonneff, pastinya akan terpukau oleh ketekunan mereka. Sangat, sangat, sangat sabar, dalam mencari, mengumpulkan hingga mengolah data, dan menjadi karya monumental mereka. Dan mereka mampu tegak menghadapi proses panjang bernama : waktu. Gerak mereka pun sangat cair dari sastra, politik, ekonomi bahkan arsitektur.

Empat nama besar itu memukul isi kepala ketika dipenuhi dengan nama lintas benua dari Jean-Paul Sartre (baca: zongpo sart) sastrawan Prancis dan pendiri surat kabar Liberation hingga Jean Jaures (baca: zong zore), pendiri surat kabar L’Humanite.

Tak pernah terbayangkan untuk belajar memasuki dunia riset. Dari Henri Chambert-Loir hingga Marcel Bonneff, anak zaman now seperti saya inilah kemudian memunculkan satu mimpi lagi, menjejakkan ke Indonesia-Indonesia (yang lain) dan bermain-main dengan paradigma penelitian (dari berbagai pendekatan) tentang konstruksi bangunan tradisional, akan tetapi bukan untuk menunjukkan fakta, ‘ini lho’; melainkan untuk menunjukkan ‘Oo, begini tho.’

Apapun itu, belajar (ketekunan) dari peneliti Prancis—dan jangan meremehkan penelitian terhadap bidang apa pun—seperti tangan baik yang memegang pemantik api dan menyalakan kembali api dari lilin yang telah lama padam. Hm, Victor Hugo sekali.

Apa mimpimu? Peneliti musik? Peneliti kuliner? Peneliti sepakbola? Atau, jangan-jangan, meneliti palung dasar lautan hati dari pasanganmu?

[] Image-teks Village de Rantenggaro https://maison-monde.com/architecture-traditionnelle-indonesie/

Celengan Babi.

a20180423_101828

Di sofa kecilnya, sofa Vallentuna, sleeper sectional yang berwarna abu-gelap, ayah muda itu menutup bukunya tentang tabungan dan investasi yang pernah dianalisis oleh seorang profesor lulusan dari Nederlandse Economise Hogeschool, Rotterdam, Belanda, ketika duduk menemani puteri kecilnya yang sedang menonton film Korea tentang kakak-adik, Jin dan Bin (1) (2). Ketika film itu usai, puteri kecilnya mendadak pergi ke kamar, dan terdengar suara, cring, cring, dan cring.

Ayah muda meletakkan buku, melangkah ke kamar puteri kecilnya dan penasaran apa yang sedang dilakukannya. Di depan pintu kamar kecil milik puterinya, ayah muda melihat puteri kecilnya memegang celengan babi. Dan menyapa dengan lirih :

“Ada apa dengan tabunganmu, gadis manis?”

Puteri kecilnya yang berponi itu hanya menggeleng.

Si ayah muda mendekat. Romantisme ayah muda dan puteri kecilnya hadir, menyeruak seketika itu juga, di tepi kasur kecil bercover Masha and The Bear. Dan percakapan pun terjadi :

“Aku nggak jadi beli boneka, Yah.”

Si ayah muda kaget, sebab puteri kecilnya menabung demi boneka kecil yang diinginkannya.

“Loh, kenapa?”

“Aku ingin celengan babiku ini untuk adikku nanti, Yah. Seperti si Jin yang jaga adiknya si Bin, Yah.”

Ayah muda hanya terdiam, mendekap tubuh kecil puterinya, mencium ubun-ubun gadis kecilnya dan meneteskan air mata.

Tanpa disadari oleh ayah dan anak itu, jauh dibelakang mereka, si ibu mendengar percakapan intim itu di depan pintu kamar puteri kesayangannya, tersenyum dan meneteskan air mata kebahagiaan.

Phénix/Phoenix/Penis.

Screenshot from 2018-04-19 15:02:08

Il y a la rebellion, tulis Jacques Derrida dalam satu karyanya untuk menggali sejarah, dan melanjutkan, contre Phénix.

Jika memakai alat eksperimennya, ‘di sana’, ada banyak tafsir yang memunculkan dirinya. Di sana, di mana ? Di suatu tempat tentang peristiwa, tentang kejadian.

Tak mudah.

Kata Phénix dalam bahasa Pancisnya, membawa pada Phoenix/Penis/Phallus (dalam istilah kedokteran, sejauh yang saya mengerti)/Zakar (dalam literatur Islam). Pencarian yang singkat dan tak bisa dijadikan patokan ini, membawa pada penelusuran yang lebih lanjut, dan mencapai pada kata burung hingga garuda.

Dalam jambangan besar bahasa, istilah dari Derrida, Phénix/Phoenix/Penis/Phallus/Burung/Garuda/Zakar, melompat dan terbang melayang hingga mendarat pada wilayah arsitektur/konstruksi bangunan.

Dalam ‘Worshiping Siva and Buddha: The Temple Art of East Java’ karya Ann R. Kinney, Marijke J. Klokke, Lydia Kieven, tertulis seperti ini:

“Candi Ceto and Candi Sukuh […] such as the importance of holy water and deliverance of souls as chronicled by stories featuring Garuda, Bhima, and Sudamala.”

Tak ada kesimpulan, tak ada jawaban.

Hanya saja, di atas langit masih ada langit, mengingat betapa luasnya langit-langit ilmu-Nya untuk diturunkan kepada setiap umat-Nya.

Keindahan : Islam dan Seni.

But I will build a new beginning / Take some time, find a place / And I will start my own religion – End Of The Beginning,  30 Seconds to Mars.

Secara pribadi, saya masih meyakini bahwa Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin, artinya  agama yang membawa rahmat dan kesejahteraan bagi semua alam semesta. Pernyataan tersebut tak bisa disimpulkan hanya dengan sekali share, namun perlu bertahun-tahun penerjemahan yang teramat panjang dan perumusan dengan suatu pembelajaran elaborasi, yaitu pembelajaran secara tekun dan secara cermat, cukup melelahkan memang. Konsep rahmatan lil ‘alamin itu sendiri mencakup berbagai domain, salah satunya adalah seni.

Islam dan seni punya romantismenya sendiri. Dalam Seni Tauhid, Esensi Dan Ekspresi Estetika Islam karya Ismail Raji al-Faruqi (Bentang, 1999, terjemahan Hartono Hadikusumo), memunculkan seni kaligrafi (καλλι γραφος, Keindahan Menulis). Menurut Al-Faruqi, Kaligrafi kontemporer dalam dunia Islam dibagi menjadi lima bagian: 1) Kaligrafi tradisional, kaligrafi yang bergaya pada kepatuhan kebiasaan lama dan unsur baku dalam tradisi Islam; 2) Kaligrafi figural, kaligrafi yang bergaya dengan kombinasi figural, dengan tambahan motif-motif daun atau bunga yang dilukiskan atau dinaturalisasikan; 3) Kaligrafi ekspresionis, kaligrafi yang bergaya dengan unsur-unsur emosi serta distorsi dan mendapatkan akulturasi dengan seni Barat; 4) Kaligrafi simbolik adalah kaligrafi yang bergaya dengan penyatuan melalui kombinasi makna-makna, peranan huruf-huruf sebagai penyampai pesan; dan 5) Kaligrafi-semu atau abstrak murni adalah kaligrafi yang bergaya dengan penyatuan motif yang menyerupai huruf dan kata, namun bukan dari huruf Arab dan tak memuat makna secara konvensional.

Islam dan seni, bisa juga melompat pada pemahaman Hamka, penggemar Charlie Chaplin itu, yang dituturkan dalam karyanya Pandangan Hidup Muslim (1), dan menulis seperti ini:

“Pada  suatu hari di tahun 1957, melawatlah aku ke pulau Bali. Aku berziarah ke studio yang didirikan oleh pelukis  terkenal, Agus Djaja. Aku lalu masuk ke dalam, menikmati lukisan-lukisan yang dipamerkan. Di antaranya ada lukisan wanita telanjang. Pelukisnya minta maaf kepadaku. “Maafkan saya kiai! Tidaklah layak saya memperlihatkan lukisan ini kepada kiai. / Dengan senyum, aku menjawab, Di samping seorang kiai, aku ini pun seorang pecinta seni. Seni Anda tersalur pada kanvas dan kuas, dan seniku pada lisan dan tulisan! Jika kulihat lukisan ini dari rasa seni, samalah buatku seperti melihat bunga mekar! Aku melihat indahnya, tapi tak akan kucabut dia dari tangkainya. Keindahan bunga itu dipagari oleh Tuhan dengan duri atau miang! Dan bila kupatahkan bunga itu dari tangkainya, hendak kucari di mana letak keindahannya, lalu kukupas kelopaknya sejurai demi sejurai, niscaya akan habislah dia berantakan ke bumi. Kurusakkan susunan keindahannya yang asli karena nafsu ingin tahu, padaal aku tak dapat menyusun balik! / Demikian juga kecantikan wanita! Aku kagum melihat keindahan bentuk badan yang saudara lukiskan, campuran warnanya, tapi percayalah aku hanya menikmati keindahan lukisan dan tidak hendak memegang lukisan saudara dengan tanganku yang berlumur debu. Rusaklah keindahan gambar saudara! / Melihat alam pun aku begitu. Aku resapi keindahan alam sekeliling ke dalam hati. Amat teratur, seragam, setimbang, tak ada cacat salahnya. Demi aku termenung melihat keindahan itu, maka terdengarlah di telingaku firman Tuhan, Latufsidu fil ardhi  ba’da islahiha (janganlah engkau buat bencana di atas bumi sesudah dia dibuat begitu bagus oleh Tuhan). / Saudara Agus Djaja lalu memegang erat diriku dan air matanya menggelenggang!”

Berangkat dari pemahaman Ismail Raji al-Faruqi, kemudian singgah sejenak ke pemahaman Hamka, dan pada menerjemahkan dalam seni-seni yang lain, sehingga muncul satu preambul, satu pendahuluan:

“Izinkan aku menenggak air keindahan-Mu, sekali lagi, melalui cawan-cawan seni dalam Islamku yang kupahami sebagai rahmatan lil ‘alamin, rahmat dan kesejahteraan bagi semua seluruh alam semesta, untuk menghilangkan dendam-dendam yang telah diwariskan.”

Catatan Harian 11 (14/04/2018)

20180414_205120

Pengalaman Dari Kelas Anak-Anak. Pada suatu kesempatan, saya diharuskan mengajar kelas bahasa anak-anak untuk dua kesempatan. Dan pada kesempatan pertama, atau apapun yang bernama pengalaman pertama, sungguh mengesankan, seperti jatuh cinta.

Segala perasaan campur aduk, seperti, canggung, bingung, dan tak tahu apa yang harus dilakukan, meski hanya empat orang anak pada usia empat hingga enam tahun. Ada yang ingin menonton The Lego Movie, ada yang ingin main game, dan kegiatan lainnya. Bacaan saya yang berat hancur dihadapan mereka, anak-anak itu. Untungnya, buku anak-anak yang ditulis Tolstoy sedikit membantu, tentang teknik bercerita; dan ada yang menarik di sini, untuk konteks anak-anak, saya harus mengikuti mereka, atau mereka harus mengikuti saya? Pilihan, tetaplah hal paling sulit. Akhirnya, agar mereka ‘senang’ pada proses belajar, ya, membentuk kesenangan dalam belajar—dan bagi saya, kesenangan adalah fondasi utama—maka saya adakan permainan, ‘Siapakah aku?’ Satu contoh dari permainan itu seperti ini:

“Siapakah aku? Aku memakai pakaian warna merah dan biru? Aku bertopeng? Aku punya gambar laba-laba di sini—tunjuk dada?”

“Spidermaaan!!!”

Permainan ‘Siapakah aku?’ ini adalah untuk melatih interlocutor (teman bicara secara langsung) pada anak-anak agar aktif bicara.

Pada kesempatan kedua dan kesempatan terakhir, saya hanya menyodorkan buku ilustrasi. Di dalam buku itu, ada gambar, dan anak-anak harus mendeskripsikan gambar tersebut sesuai dengan kemampuan mereka. Lalu saya hanya menimpali, “Kenapa suka itu?”, “Lalu?”, “Terus gimana kalau gini atau gitu?”, dan lain-lain. Dan tentu saja, seperti ngobrol antara kawan seumuran. Pengalaman mengajar anak-anak memang mengasyikkan sekaligus menyeramkan.

Oleh sebab itu, tiga bulan ini, di setiap akhir pekan, saya selalu mengunjungi toko buku, tepatnya rak buku anak-anak; mengumpulkan/menabung satu buku untuk melatih strategi mengajar. Anak orang lain saja begitu diperhatikan, apalagi anak kita nanti.

Catatan Harian 10 (11/04/2018)

Screenshot from 2018-04-11 22:30:13

Radio dan Kebebasan. Sekarang aku rutin mulai memutar radio kembali, kesenangan lama kala es-em-pe dan es-em-a kumunculkan kembali di sela-sela mengerjakan beberapa tugas dan membantu kawan mudaku dari UIN Suka Jogja, Jurusan Filsafat, tentang Rene Descartes. Menurutku, mendengarkan radio paling menyenangkan adalah pukul sepuluh malam sampai dini hari. Aku benar-benar rindu mendengarkan Kartolo Cs dari radio tape recorder.

Lalu aku memulai dari channel 90.0 Mhz, dan terus bergerak maju dan terdengar lagu dari Marcell, Mendendam : mungkinkah kembali / segala rasa yang t’lah hilang / walau hati kecilmu masih mencintaiku / tak ingin ku bertahan, meski kadang mendendam / akankah kau bahagia bila cinta tak ada / untuk dirimu lagi. Lalu channel berpindah kembali, suara Richard Marx dalam lagu Right Here Waiting, memenuhi ruangan kamarku : wherever you go / whatever you do / i will be right here waiting for you / whatever it takes / or how my heart breaks / i will be right here waiting for you. Lagu Indonesia terdengar kembali dari Iwa K : Bebas lepas kutinggalkan saja semua beban dihatiku / Melayang kumelayang jauh / Melayang dan melayang. Rihanna dalam lagu Diamond, dan melanjutkan, So shine bright tonight / You and I / We’re beautiful like diamonds in the sky / Eye to eye, / So alive / We’re beautiful like diamonds in the sky. Tak lama berselang terputarlah lagu Sheila Madjid yang terkenal di tahun 1989, tahun kelahiranku, yang berjudul Cinta jangan kau pergi : Tinggalkan diriku sendiri / Cinta jangan kau lari / Apalah arti hidup ini / Tanpa cinta dan kasih sayang.

Radio, mengingatkanku pada petikan Hatta, seperti ini, aku rela di penjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas. Dan dengan usil, aku mengganti kata buku, dengan kata radio, dan jadinya seperti ini, aku rela di sisimu asalkan bersama radio, karena dengan radio aku bebas (mendengar).

nb: Kupinjam teknik menulis ini dari novel Cala Ibi milik Nukila Amal dan Mencintai Che dari Ana Menendes, yang penerjemahnya aku lupa siapa namanya, untuk menambah eksplorasi dalam menulisku, dan ada kesamaan dengan teknik menulis dari Derrida, di satu karyanya.

Klopp dan Kepercayaan.

DadiDuXVMAAHAVA

If you want special results, you have to feel special things and do special things together. You can speak about spirit, or you can live it. – Jurgen Klopp.

Sisa image pasca kemenangan 2-1 di Etihad Stadium. Bila menilik susunan umur seluruh skuad Liverpool dari kelahiran 1985 (1); 1986 (1); 1988 (3); 1989 (1); 1990 (3); 1991 (3); 1992 (5); 1993 (3); 1994 (2); 1997 (3) 1998 (2); hingga 2001 (2); ada 17 pemain yang berada di jembatan 25 tahun ke bawah, bagi seorang pelatih yang tak memiliki mental pendekatan yang baik, tentu akan menemui kesulitan untuk menyatukan ritme (suatu ukuran gerakan yang simetris) atas kumpulan not-not balok berupa para pemain muda yang memiliki ego-nya masing-masing, dengan dunianya masing-masing, sehingga tak akan tercipta komposisi yang indah untuk didengarkan.

Pengalamannya tujuh tahun bersama para pemain muda di Borussia Dortmund, coba diterapkan dalam lingkungan barunya di Anfield dan Melwood, training ground milik Liverpool. Proses itu sangat panjang dan dipenuhi drama-drama yang membuat kita merasakan degup jantung yang cepat, mencetak gol banyak, dan mungkin bisa kebobolan dengan banyak juga, melalui filsafat bermainnya, gegenpressing. Aggregat 5-1 atas City adalah buah dari menanamkan kepercayaan atas potensi para pemain muda itu.

Terima kasih untuk (pelajaran) musim ini yang menyenangkan. Kopi pagi ini terasa nikmat sekali.

Guten Morgen, Herr Trainer.