Dia dan Ibunya (*).

– Untuk cerita pendek paling pendek yang pernah dibuat oleh Seno Gumira Ajidarma dalam antalogi cerita pendek: Matinya Seorang Penari Telanjang.

(*) Adaptasi dari iklan Air Canada.

Dia telah menantiku selama tiga puluh menit di bawah pohon melaleuca leucadendra, atau kerap disebut dengan pohon minyak kayu putih, di taman, di depan perpustakaan kampus; bersama lalu lalang langkah mahasiswa/i, kayuhan-kayuhan kaki di pedal sepeda kampus, deru mesin mobil dan sepeda motor. Tampak dari kejauhan, dia menyilangkan kaki kanan ke atas kaki kiri dan selalu melihat gadgetnya.

Dari kejuahan, di depan pintu perpustakaan yang bergaya minimalis dengan seluruh bahan kaca dan baja, aku memandang wajah risau belahan jiwaku yang nampak elegan. Busana split neck shift dress (1) biru muda sebiru langit siang menghiasi tubuh kecilnya yang sedang mengandung calon bayiku yang berusia 3 bulan dan pinggang ke bawah dia memercayakan dengan jeans favoritnya, tak hanya itu, disampingnya terdapat tote bag dan sweater kesayangannya, babaton beekman sweater (2).

“Sayang…” teriakku dengan lantang.

Dia menoleh kecil, wajah yang menua itu terlihat muda mana kala disertai senyuman, dan membalas lambaianku. Selekas mungkin, aku buru-buru menujunya.

“Kamu ngapain aja, lama banget…”

“Sabar, dong. Kan, sekarang aku ada disampingmu. Oh ya, video editing-mu tentang keluargamu bagaimana? Jadi?”

Ketika dia sedang mengeluarkan macbook-nya dari tote bag itu, aku melihat Reno Valentino (3), seorang mahasiswa budaya yang sedang memersiapkan koreo untuk pementasan tarinya, sedang melangkah bersama tiga orang pelajar asing dari program pertukaran pelajar menuju ke gedung yang telah menetaskan para artisan bahkan ke mancanegara.

“Coba lihat sayang,” tuturnya, seusai menyalakan perangkat keras, yang kemudian berpindah dari pangkuannya ke pangkuanku.

Dalam video itu, kulihat bagaimana istriku bertemu dengan keluarga besarnya, ayah, ibu, kakak, adik, paman dan bibi bahkan keponakan kecilnya. Dia mengambil latar dua tempat yaitu dapur dan ruang keluarga. Ketika di detik 0:22, dia mencoba untuk mengutarakan niatnya untuk membawa ibunya yang terkasih ke suatu tempat yang telah lalu, satu sejarah diri yang dianggap penting olehnya untuk ibunya, mertuaku. Pada detik 0:56, kedua mataku melihat satu kota kecil yang dikelilingi oleh gunung, mengingatkanku pada suasana, iklim serta hawa dari kotaku. Dia dan ibunya menuju satu rumah tua yang memiliki makna bagi mertuaku, rumah dari neneknya. Waktu pun merambat bagai tanaman morning glory (4) yang pernah kubaca di majalah arsitekturku. Dia, ibunya dan neneknya pergi berjalan-jalan di kampung kecil di mana ibunya pernah mengalami fase bayi di kampung itu.

“Ini siapa? Itu siapa?” tanyaku di sela-sela aku menikmati videografinya; dia menjelaskan dengan sangat rinci. Sampai pada di lima rumah yang berderet, dia bercerita tentang bagaimana mereka diusir dari kampung karena perbedaan pandangan politik. Aku hanya mendesahkan nafas dalam-dalam. Frame terakhir yang aku suka adalah ketika dia memeluk ibunya sambil memandang hamparan perbukitan yang hijau. Seusainya, aku pun berkata sambil memindahkan kembali perangkat kerasnya:

“Aku seperti tak menemukan satu celah pun, sayang. Sempurna.”

Dia terdiam, memandangku dengan rasa kasihnya, dan membuka mulut kecil yang basah:

“Inilah yang selama ini kulakukan, sayang. Aku ingin membuatmu bangga.”

“Sayang, dengarlah, kau tak perlu membuktikan apa pun padaku,” memutar sedikit tubuhku, dan membenarkan sweaternya, ketika angin hadir memenuhi ruang-ruang kosong seperti air, dan aku melanjutkan, “Karena kau telah berusaha keras menjaga kesehatanmu serta kesehatan bayi kita. Dan diatas segala apapun, aku harus mengakui bahwa aku bangga padamu. Selamat hari ibu, sayangku.”

Dia tersenyum, dan berkata, “Kita pulang sekarang, sayang. Aku ingin istirahat.”

(1) https://www.today.com/style/these-are-5-hottest-fashion-trends-spring-2018-t124190

(2) https://www.peacockboutique.ca/products/babaton-beekman-sweater-sz-m

(3) Menurut sepenuturan para kakak (sekaligus guru informal di sekolah kehidupan), Reno Valentino adalah vokalis Band Hardcore Malang, Hindsight, yang berprofesi sebagai guru tari dan telah tenang di tempat nun jauh, semoga ingatan ini tak salah, dan maaf bila tak tepat.

(4) https://www.dekoruma.com/artikel/68579/jenis-tanaman-merambat

Fecundity London: Klub Sepakbola.

The power of life. To be free – Door Game, Senser (RATM dari London dan Paris) (1)

Pada 19 Juli 1898, Emile Zola, seorang penulis Prancis terkenal mengasingkan dirinya ke London, tanpa satu pengetahuan apapun tentang bahasa atau budaya Inggris, bahkan ia tak bisa bahasa Inggris. Mudahnya seperti ini, ada orang Jakarta yang kemudian nekat untuk pergi ke daerah kecil di Jawa Timur, seperti Blitar atau Kediri. Dari bahasa kasar ‘lo’ dan ‘gue’ yang justru berasal dari  bahasa Mandarin Hokkien, menuju ke bahasa kasar di daerah lain seperti ‘nyapo (ngapain)’ atau ‘bar (selesai).’ Tak hanya itu, perayaan perbedaan bahasa-budaya juga menyeret pada ranah lain seperti politik bahasa internasional; para ahli bahasa sudah mahfum, tentang mengapa harus Inggris yang menjadi bahasa internasional, dan mengapa Jerman atau Prancis melindungi bahasa asli mereka, dan bisa kita perpanjang dengan Spanyol.

Penulis Prancis pencipta kata ‘intelektual’ mengasingkan diri di London bukan tanpa alasan, ketika ia membela Dreyfus, tentara Prancis yang dianggap menjadi mata-mata Jerman, melalui koran/pamflet dan melakukan protes pada presiden yang kemudian menjadi satu sejarah sendiri bagi penikmat dunia negeri anggur itu: “J’accuse!” (2)

Dalam era pengasingannya, tak jauh dari stasiun Victoria, London, terdapat hotel yang menjadi kediaman dari penulis borjuis yang pro rakyat itu selama setahun untuk menulis karya Fecundity. Hannah Lynch mengomparasikan karya pengasingan Zola (3) dengan penulis raksasa Rusia dan juga seorang bangsawan-petani, Leo Tolstoy, dalam ‘The Kreutzer Sonata.’

‘Fecundity’ sendiri berarti dengan kesuburan atau keproduktifan. Seperti yang dikisahkan dalam catatan kaki Rachel Ginnis Fuchs, dalam Poor and Pregnant in Paris: Strategies for Survival in the Nineteenth Century:

“[] Matthieu dan Marianne sepasang kekasih yang memiliki banyak anak di daerah sub-urban dan kemudian berelasi pada faktor ekonomi dan aborsi.”

Kata ‘Fecundity’ bisa kita mainkan dalam ranah sepakbola di mana kita bisa melihat satu sejarah yang telah tercatat dengan All England Final baik dalam kompetisi Liga Champions dan Liga Eropa yang mana terdapat tiga dari empat klub diisi oleh klub London. Sangat menarik. Dalam data wikipedia, bisa kita lihat, dari Premier League sendiri, Kota London melahirkan enam klub yaitu Arsenal, Chelsea, Westham United, Fulham, Tottenham Hotspurs, Crystal Palace; Sementara EFL Championship melahirkan tiga klub yaitu Brentford, Millwall dan Queens Park Rangers; sementara EFL League One  melahirkan Wimbledon dan Charlton Athletic.

Namun Fecundity, kesuburan dengan hadirnya klub London, mampukah disamai dengan Fecundity, kesuburan, dalam meraih trofi di dua ajang yang bergengsi tersebut? Atau malah klub dari kota lain, Liverpool, yang akan merusak Fecundity dari Kota London?

(1) https://www.youtube.com/watch?v=CdLEsvXu7zQ

(2) https://id.wikipedia.org/wiki/J%27accuse…!

(3) M. Natsir, kawan DN. Aidit, dan tokoh Masyumi, dalam karya agungnya, Kapita Selekta, menenangkan polemik antara hukum Islam dan karya sastra barat, dan beliau menulis tak perlu khawatir bila anak-anak kita membaca karya dewasa seperti kebanyakan yang diimajinasikan dalam scene Zola melalui Naturalismenya antara alam dan perempuan telanjang, apabila sebelum membaca karya tersebut disertai oleh review dari pereview yang handal. Sehingga diizinkan membaca apabila anak-anak kita telah mengalami fasenya.

Lafuma.

Sebelum Perang Dunia II, ketika Prancis diduduki oleh Pasukan Nazi Jerman dengan Adolf Hitler dan Wehrmacht-nya, yaitu sebutan untuk pasukan Jerman, tepatnya pada tahun 1930, tiga bersaudara yaitu Victor Jean Joseph, Alfred Jean dan Gabriel di desa Anneyron, Prancis Tenggara, membuat karya pertama mereka berupa backpack dengan material metal-frame yang diberi nama Lafuma. Pada tahun 1950, dijelaskan dalam fundinguniverse[dot]com, bahwa backpack Lafuma diadopsi oleh Tentara Prancis dan mereka menjadi klien utama pada masa Perang Dunia. Kemudian, Lafuma mengembangkan produknya berupa tenda dan peralatan camping. 

Sebagai satu industri outdoor, perjalanan Lafuma tak mulus, ia mengalami jatuh-bangunnya. Meminjam konsep pewarisan genetika pada Hukum Mendel, pada tahun 1984, ketika Lafuma bangkrut dan cucu pendiri Lafuma, Philippe Joffard, mengambil alih kepemilikan. Ia merekonstruksi manajemen dari brand berbentuk daun itu. Kemudian, Lafuma bangkit dan melakukan ekspansi pasar ke Eropa, Amerika dan Asia. Joffard harus berjuang dalam kompetisi dengan brand lain dalam desain serta teknologi. Tak hanya itu, ia harus memutar otak untuk menyelamatkan perusahaan kakek-kakeknya dengan memangkas jumlah karyawan dan para karyawan menduduki markas Lafuma hingga jadilah satu perjanjian inovatif yang mana para pekerja menerima 35 jam kerja seminggu sepanjang tahun. Dengan demikian perusahaan outdoor itu dapat beradaptasi dengan periode produksi puncak.

Pada tahun 2008, Joffard menulis catatan harian sebagai pemilik perusahaan Lafuma, ‘Journal de bord d’un patron: un entrepreneur dans la crise (Penerbit BOURIN EDITEUR, 2018)’ tentang bagaimana ia menggambarkan perjalanan seorang wirausahawan menghadapi krisis 2008, bercerita tentang pertemuannya dengan para bankir, perjalanannya di Asia untuk meyakinkan pelanggan dan mitranya, perasaan kesepiannya, relasinya dengan para kolaboratornya dan para karyawan. Ada satu sentilan yang ditujukan pada Bankir Prancis bahwa ketika sebuah perusahaan peminjam dalam kondisi lemah, bank melecehkannya; tetapi ketika bank dalam kesulitan, memastikan bahwa peminjam juga mengalami penderitaan akibat ketidakmampuannya.

Lafuma, seperti logo daunnya, ia tumbuh hijau, menguning, gugur dan tumbuh hijau kembali. 

Visitez l’usine de Lafuma Mobilier à Anneyron !https://www.youtube.com/watch?v=s7mUYqXTIpo

Salomon (1). 

Pada awal abad ke-20 adalah kebangkitan olahraga musim dingin yang dilahirkan di Pegunungan Alpen Prancis untuk cikal-bakal pembuatan sepatu ski atau sepatu bot, yang juga menyeret pada sektor ekonomi. (2)

Apa yang bisa kita telusuri apabila kita berada di tahun 1947? Di tahun tersebut, terdapat Pembentukan Federasi Pekerja Afrika di Kenya pada 13 Januari 1947; atau, deklarasi ‘economic independence’ di Argentina pada 9 Juli; atau, terbentuknya prinsip-prinsip Afrika-Asia « l’afro-asiatisme » pada 23 Maret di New Delhi; namun, tepat tahun itu pula, di Annecy, Haute-Savoie, Georges Salomon, Pemain ski dan pemilik bengkel kecil dari gergaji kayu melihat celah (baca: peluang) dengan membuat mesin otomatis untuk membuat mata pisau untuk papan ski (3. les carres de ski) dalam jumlah yang besar. Bersama sepuluh pekerjanya, ia mengembangkan produknya untuk mata pisau dalam olahraga skting (4). 

Dari 1947 sampai 1972 bersama ketekunannya, ia telah menjual produknya kurang-lebih 10 juta euro bahkan melakukan diversifikasi (5) pada Mavic3, produsen pelek sepeda, di Saint-Trivier-sur-Moignan. Nahas, seperti hukum alam pada eksistensi perusahaan, Salomon pun ikut dalam pusaran kebangkrutan sehingga Adidas membelinya. 

Kecantikan masa lalu dari produk ski dari Salomon, membuat Arc’teryx, sebuah perusahaan produk gunung Kanada mengakuisisinya dan bahkan juga membuat tertarik bagi Roger Talermo, Master Ilmu Ekonomi dan Dokter Ilmu Fisika dari Finlandia (6), pemilik Amer Sports yang menciptakan brand Wilson, Atomic, Suunto, Precor dan Mavic. Sampai pada Talermo melakukan restrukturisasi pertama yang menghapus 378 posisi dari 2.372 karyawan kelompok (termasuk 1.500 di Prancis) sehingga mengakibatkan adanya mobilisasi serikat pekerja dan karyawan terhadap rencana sosial Amer Sports (7).

Dari hanya mengandalkan sepuluh pekerja kemudian bergerak menjadi 2.372 karyawan, Salomon mengalun ibarat instrumen dari komposer Prancis, Eric Satie (8), yang begitu rumit namun menjadi satu keindahan sendiri dalam memainkan suatu peran sebagai pionir produk outdoor di awal abad-20. 

(1) https://www.salomon.com/fr-fr

(2) https://www.cairn.info/revue-entreprises-et-histoire-2014-1-p-88.htm

(3) http://www.neige-et-caillou.fr/content/8-ski-occasion-garantie-neige-caillou

(4) http://protechockey.com/wp-content/uploads/2018/05/instructor-speaking-with-young-skaters.jpg

(5) https://id.wikipedia.org/wiki/Diversifikasi_(ekonomi)

(6) https://www.newswire.ca/news-releases/roger-talermo-named-new-chairman-for-the-board-of-footbalance-system-ltd-545550112.html

(7) https://www.nouvelobs.com/economie/20080111.OBS4679/haute-savoie-fermeture-de-l-usine-de-skis-salomon.html

(8) https://www.youtube.com/watch?v=r7RepI8ef80

Vêtement trail Salomon S-Lab Modular : une idée des athlètes: https://www.youtube.com/watch?v=Nu5XgZqCGZU